Jumat, 02 Mei 2014

Ahmad Tohari - Bekisar Merah

Download (PDF)
| DropBox | 4shared | Box |

Download (EPUB)
| DropBox | 4shared | Box |

Karangsoga merupakan salah satu desa di kaki pegunungan vulkanik. Mayoritas masyarakatnya, yang laki-laki adalah seorang penderes nira. Karena ketergantungan mereka terhadap nira, dan tak memiliki pekerjaan lain, maka masyarakat Karangsoga kebanyakan hidup dalam kemiskinan.

Salah satu penderes tersebut bernama Darsa, dia seorang lelaki muda yang beristrikan Lasi, seorang wanita yang cukup cantik. Namun dulu ketika Lasi kecil, sering berhembus kabar kalau dia itu anak haram jadah, ibunya diperkosa oleh Jepang. Maka tak heran kalau secara fisik dia sangat cantik dengan mata kaput. Setelah dia dewasa kecantikan Lasi bahkan membuat banyak lelaki terpana, untuk itulah Darsa menjadi sangat beruntung.

Namun, di antara perasaan beruntung tersebut dia juga merasa cemas atas celoteh orang-orang yang menyebutkan bahwa Lasi lebih pantas untuk menikah dengan lurah. Tiga tahun perkawinan mereka pun, mereka belum dikaruniai anak. Ini sangat dipikirkan Darsa suatu ketika, kala dia menderes. Hingga kemudian jatuhlah ia dari pohon kelapa.

Memang tak ada luka parah yang terlihat, namun kemudian untuk memastikan keluarga membawanya ke rumah sakit. Ternyata Darsa terus saja ngompol. Rumah Sakit meminta Lasi untuk membawanya ke rumah sakit yang lebih besar dengan biaya besar pula, namun dengan persetujuan keluarga mereka akhirnya memilih untuk merawat darsa di rumah, karena tak tersedia banyak biaya.

Dalam sakit, Darsa berubah sikap, dia mulai sering marah-marah. Hal ini membuat Mbok Wiyarji, menantunya berkeluh kesah pada Eyang Mus. Dia bahkan menginginkan Lasi menikah dengan mantan gurunya. Hal ini tentu ditolak mentah-mentah oleh Eyang Mus. Dia mengingatkan untuk ikhtiar. Maka Mbok Wiyarji mengatakan bahwa Darsa sudah ditangani oleh Bunek, seorang Dukun Bayi. Setengah tahun tak berdaya, akhirnya Darsa mengalami kemajuan dia sudah tidak lagi ngompol. Dia juga sudah bisa melakukan pekerjaannya yang dulu, hanya saja, memang masih perlu sering terapi.

Namun semenjak Darsa sembuh, masalah Lasi justru rumit, dia mendengar bahwa anak Bunek memaksa kawin Darsa. Kontan saja, hal ini menimbulkan spekulasi masyarakat. Maka, Bunek pun buka suara, dia tanpa rasa bersalah menejelaskan bahwa dia hanya minta tolong Darsa karena dia sudah menolong Darsa. Menghadapi kenyataan ini Lasi tak kuat, maka dia pun kemudian memutuskan kabur, ikut tetangganya, seorang sopir truk, ke Jakarta.

Sampai di Jakarta, Lasi membantu Bu Koneng di warung makan. Dia tidak ingin pulang ke kampungnya lagi. Dia tak kan mengindahkan sopir yang membawa dia ke Jakarta. Di tempat lain, Darsa merasa sangat kehilangan Lasi, dia juga merasa sangat bersalah karena telah melakukan perbuatan yang seharusnya tidak dia lakukan.

Sementara itu Kanjat yang yang sedang menyelesaikan skripsi mengangkat seputar kehidupan masyarakat penyadap nira. Dia merasa banyak yang tidak adil dalam sistem penjualan gula merah. Petani sangat dirugikan, dengan segala resiko dan kesulitan, harga gula enak saja diatur oleh para tengkulak. Hal ini lah yang menyulut kepedulian Kanjat untuk terus menyelesaikan skripsinya.

Lasi sendiri setelah lama bersama Bu Koneng, dia bertemu dengan Bu Lanitng. Bu Koneng ternyata tidak sebaik yang Lasi kira. Selama ini memang, dia tidak menjajakan Lasi kepada para lelaki, namun nyatanya, dia menyimpan Lasi, hingga kemudian datang Bu Lanting. Bu Lanting sendiri adalah orang yang mencarikan gendik keturunan Jepang bagi para pejabat. Semacam geisha. Atas bujuk rayu Bu Lanting lah, akhirnya Lasi tinggal bersama bu Lanting. Di sana dia dipoles sedemikian rupa sehingga makin hari makin cantik.

Akan tetapi, hal itu tidak serta merta membuat Lasi bahagia. Dia masih terus terkenang dengan desanya. Hingga suatu ketika Bu Lanting bertemu dengan Pak Handarbeni, salah satu direktur sebuah perusahaan asing yang dinasionalisasi. Sampai satu ketika Bu Lanitng meminta Lasi menemui laki-laki, yang tak lain adalah Pak Handarbeni. Dia diminta memakai kimono, namun belum juga tamu itu datang, dia sudah dikejutkan oleh kadatangan Kanjat, laki-laki yang dulu sudah dianggapnya sebagai adik.

Ketika Kanjat berlalu ada perasaan kehilangan dalam diri Lasi. Namun perasaan itu cepat-cepat menghilang, karena tamu yang sedianya datang ternyata benar memang sudah datang. Di lain pihak, dalam perjalanan pulang, Kanjat tak henti-hentinya memikirkan Lasi, bahkan Pardi, si sopir truk pun, kemudian menggodanya untuk segera menikahi Lasi, terlebih ketika dia tahu sekarang Lasi sudah menjelma menjadi wanita yang sangat cantik.

Beberapa hari kemudian, Bu Lanting pun meminta kesanggupan Lasi untuk menjadi istri Pak Handarbeni. Tentu saja hal ini cukup mengejutkan. Dia dihadapkan pada permasalahan pelik, namun dia tak punya pilihan. Selama ini dia telah banyak menerima kebaikan Bu Lanting. Dia tak bisa menolak Pak Handarbeni, meskipun hatinya berontak.

Suatu lebaran Lasi pulang ke kampung, namun sikapnya begitu dingin. Dia hendak menceraikan Darsa. Sementara itu Kanjat yang sudah lulus kuliah merasa kosong. Namun, berkat Doktor Jirem, dia berusaha berbuat banyak untuk kampungnya, memikirkan nasib para penyadap nira. Dia membentuk tim peneliti.

Kabar mengenai Lasi yang sudah janda, akhirnya sampai juga ke Kanjat. Dia kemudian menemui Lasi dengan maksud ingin melamarnya. Namun tak dinyana, Lasi tak bisa menerima lamaran itu dengan berat hati. Dia sudah terikat oleh Pak Handarbeni, meskipun dalam hati, dia juga menyukai Kanjat.

Di Jakarta, hubungan antara Lasi dan Pak Handarbeni tak berjalan harmonis, ternyata Pak Han orang yang impoten, untuk memenuhi kepuasan Lasi, Pak Han bahkan menawarkan ide gila. Lasi boleh berhubungan denbgan lelaki mana yang dia suka. Hal ini membuat Lasi terkejut dan marah, untuk itulah dia kemudian berpikir untuk bercerai. Maka ketika dia pulang kampung, hal ini diutarakannya kepada Kanjat. Kanjat tak menjawab. Mereka kemudian justru mendiskusikan soal listrik yang masuk desa, dan membuat pohon-pohon kelapa para penyadap ditumbangkan.

Hal ini menimbulkan keprihatinan tersendiri bagi Kanjat. Dia bimbang apakah harus meneruskan hasratnya terhadap Lasi, sementara di lain pihak, Darsa membutuhkan keberpihakan dan juga dukungan dari Kanjat.
Fakta Cerita
Alur Cerita
  • Alur yang digunakan dalam novel ini adalah alur campuran, hal ini terlihat ketika Lasi mengingat masa kecilnya yang penuh dengan ejekan. Begitu juga beberapa bagian ketika Lasi mengingat potongan-potongan masa lalu.
Tokoh dan Penokohan
Darsa
  • Semangat. Hal ini tecermin dalam petikan “Ia segera bangkit dan keluar dari bilik tidur. Lasi pun mengerti, suaminya terpanggil oleh pekerjaannya, oleh semangat hidupnya”
  • Berjiwa ksatria. Hal ini dibuktikan ketika di depan Eyang Mus dia mengakui kesalahan yang telah diperbuatnya. Bahkan kemudian dia berniat memperbaiki kesalahan tersebut.
  • Pasrah dan menerima. Hal ini terlihat dari sikapnya yang menerima ketika sepuluh dari dua belas pohon ditebang untuk keperluan pengadaan listrik.
  • Bertanggung jawab. Ini terbukti ketika dia mau menikahi Sipah
Lasi
  • Berani. Hal ini dibuktikan dengan keberanian Lasi dalam menghadapi tiga anak laki-laki yang mengejeknya.
  • Setia. Hal ini terbukti ketika Darsa sakit dan terus ngompol pun, Lasi masih selalu menemaninya
  • Polos. Hal ini terlihat ketika dia baru pertama kali ke Jakarta dan kepasrahannya pada setiap keputusan Bu Canting.
Kajat
  • Peduli. Hal ini dia tunjukkan melalui skripsi maupun penelitian yang dia angkat. Dia memiliki tekad yang besar untuk membawa para penyadap nira ke tataran hidup yang lebih baik.
  • Teguh pendirian. Hal ini dia tunjukkan, meskipun orang tua tidak setuju dengan apa yang dia usahakan, namun dia tidak pantang mundur, dia juga tidak gengsi, meskipun dia seorang insinyur, namun dia tetap dekat dengan masyarakat.
  • Pengertian. Hal ini dia tunjukkan ketika Lasi bercerita tentang kehidupannya. dia bisa mengerti dan memahami apa yang menjadi keputusan Lasi.
Latar
Latar Tempat
  • Karangsoga. Hal ini terbukti melalui petikan berikut “Karangsoga adalah sebuah desa di kaki pegunungan vulkanik”
  • Jakarta. Hal ini tergambar dalam petikan “Menjelang fajar truk sampai di pinggiran kota Jakarta”
  • Kalirong. Hal ini tergambar dari petikan “Kalirong adalah sebuah sungai kecil yang bermula dari jaringan parit-parit alam di lereng gunung sebelah utara Karangsoga”
Latar Waktu
  • Musim kemarau. Hal ini terbukti dalam petikan “Musim pancaroba telah lewat dan kemarau tiba. Udara Karangsoga yang sejuk berubah dingin dan acap berkabut pada malam hari…”
Latar Sosial
Masyarakat yang melatari novel ini adalah kehidupan masyarakat desa penyadap nira yang masih tradisional. Mereka hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan, serta sengkarut permasalahan terkait dengan sulitnya mengubah pola perdagangan gula merah yang sangat merugikan petani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar