| DropBox | 4shared |
Download (EPUB)
| DropBox | 4shared |
PADA KENYATAANNYA, aku tak pernah menjadi dalang dari apa pun.
Aku tertawa geli setiap kali orang mengatakan bahwa sudah menjadi ambisiku untuk memerintah Cina sejak masih muda. Hidupku dibentuk oleh kekuatankekuatan yang telah ada sejak sebelum aku lahir.
Aku tertawa geli setiap kali orang mengatakan bahwa sudah menjadi ambisiku untuk memerintah Cina sejak masih muda. Hidupku dibentuk oleh kekuatankekuatan yang telah ada sejak sebelum aku lahir.
Jalinan konspirasi dalam dinasti ini telah amat tua, lelaki dan perempuan terperangkap dalam persaingan mematikan jauh sebelum aku memasuki Kota Terlarang dan menjadi seorang selir. Dinastiku, Dinasti Ch'ing, sudah tak dapat diselamatkan lagi sejak Cina dikalahkan Inggris Raya dan sekutunya dalam Perang Candu. Duniaku adalah sepetak rangkaian ritual menjengkelkan. Satu-satunya privasi yang bisa kudapat adalah di dalam kepala. Tak satu hari pun berlalu tanpa perasaan seolah aku adalah seekor tikus yang berhasil menghindari satu perangkap lagi. Selama setengah abad aku ikut ambil bagian dalam tata cara kerajaan yang rumit beserta dengan seluruh detailnya yang sangat terperinci. Layaknya salah satu lukisan dari galeri lukisan kekaisaran, begitulah diriku. Manakala aku duduk di atas takhta, penampilanku anggun, menyenangkan, penuh kedamaian.
Di hadapanku terbentang sehelai tirai pembatas—tabir tembus pandang yang secara simbolis memisahkan perempuan dan lelaki.
Agar terlindungi dan kritikan, aku mendengarkan dengan baik, tetapi tak banyak bicara. Karena sangat memahami kesensitifan para lelaki, aku tahu bahwa sekilas saja kecerdikan akan amat mengganggu para penasihat dan menteri. Bagi mereka, gagasan tentang seorang perempuan sebagai penguasa itu mengerikan. Para pangeran yang cemburu memangsa rasa takut setiap perempuan yang terlibat dalam politik. Saat suamiku meninggal dan aku berperan sebagai wali bagi putra kami, Tung Chih, yang baru berusia lima tahun, kupuaskan para penghuni istana dengan menekankan dalam titahku bahwa anakku Tung Chihlah, sang Kaisar Muda, yang memerintah, bukan ibunya.
Sementara para lelaki di istana berusaha mengesankan satu sama lain dengan kecerdasan mereka, aku justru menyembunyikannya. Pekerjaanku memerintah dalam istana adalah pertarungan tiada henti dengan para penasihat yang ambisius, para menteri yang penuh tipu daya serta para jenderal yang mengomandani prajurit-prajurit yang tak pernah melihat medan pertempuran. Sudah lebih dari empat puluh enam tahun. Pada musim panas yang lalu mendadak kusadari bahwa aku telah menjadi sebatang lilin yang terbakar habis di dalam sebuah aula tanpa jendela kesehatanku telah meninggalkanku, aku tahu hari-hariku sudah mendekati akhir.
Akhir-akhir ini kupaksakan diriku untuk bangun pada pagi buta, dan menerima orang menghadap sebelum sarapan. Kondisi kesehatanku kurahasiakan. Hari ini aku terlalu lemah untuk bangkit.
Kasimku datang untuk memintaku bergegas. Para pejabat dan penguasa sudah menantiku di balairung dengan lutut kesakitan.
Mereka berada di sana bukan untuk mendiskusikan apa yang harus dilakukan setelah aku mati, tetapi guna menekanku untuk menetapkan salah seorang dari anak lelaki mereka sebagai putra mahkota.
Amat menyakitkan untuk mengakui bahwa dinasti kami telah kehilangan ruhnya. Pada saat-saat seperti ini, tak ada yang dapat kulakukan dengan benar. Aku telah dipaksa untuk menyaksikan kejatuhan tidak hanya kejatuhan putraku pada usia sembilan belas, tetapi juga kejatuhan Cina sendiri. Apakah ada yang lebih kejam daripada itu? Dengan sepenuhnya menyadari alasan demi alasan yang ikut berperan dalam situasi ini, aku merasa terdesak, tercekik. Cina telah menjadi sebuah jagat yang teracuni dalam kotorannya sendiri.
Jiwaku telah menjadi demikian layu sehingga para pendeta dan kuil terbaik sekalipun gagal memulihkannya.
Tetapi ini bukanlah yang terburuk. Bagian terburuknya adalah rekan sebangsaku terus saja menunjukkan kepercayaan mereka kepadaku, dan bahwa aku, karena panggilan nuraniku, harus menghancurkan kepercayaan mereka itu. Aku telah mencabik banyak hati dalam bulan-bulan belakangan, dengan dekrit-dekrit perpisahanku; dengan mengatakan sejujurnya kepada mereka bahwa hidup mereka akan lebih baik tanpaku. Kukatakan kepada para menteriku bahwa aku sudah siap untuk memasuki keabadian dengan damai, apa pun pendapat dunia. Dengan kata lain, aku adalah seekor burung tak bernyawa yang tak takut lagi pada air mendidih.
Aku buta pada saat penglihatanku masih sempurna. Pagi ini aku mengalami kesulitan untuk melihat apa yang tengah kutulis, tetapi mata batinku amat jernih. Cat rambut Prancis bekerja sempurna dengan membuat rambutku tetap terlihat seperti dulu: sepekat malam. Selain itu, cat ini tidak mengotori kulit kepalaku seperti cat Cina yang sudah bertahun-tahun kupakai. Jangan membual kepadaku tentang betapa pintarnya kita dibandingkan dengan bangsa-bangsa biadab itu! Memang betul, nenek moyang kita menemukan kertas, alat cetak, kompas, dinamit, tetapi nenek moyang kita juga telah menolak, dinasti demi dinasti, untuk membangun suatu pertahanan yang layak bagi negeri ini. Mereka beranggapan bahwa peradaban Cina sudah sedemikian tinggi sehingga tak seorang pun akan terpikir untuk melawan. Lihat keadaan kita sekarang: dinasti ini sudah serupa gajah sekarat yang sedang menyelesaikan embusan napas terakhirnya.
Konfusianisme terbukti gagal. Cina telah dikalahkan. Aku tidak mendapat penghormatan, keadilan, dan dukungan apa pun dan seluruh dunia. Negara-negara tetangga sekutu kita mengawasi kejatuhan kita dengan sikap apatis dan tanpa daya. Untuk apa kemerdekaan bila kehormatan telah tiada? Hinaan terhadapku tidak datang dalam bentuk cara sekarat yang tak tertahankan ini, tetapi dalam ketiadaan kehormatan, serta kegagalan kami untuk melihat kenyataan.
Aku terkejut karena tak seorang pun menyadari bahwa perilaku kita menuju akhir ini sangat menggelikan dan absurd. Di tengah audiensi yang terakhir, aku tak dapat menahan diri untuk tidak berteriak, "Cuma aku yang tahu bahwa rambutku sudah tipis dan memutih!"
Seisi istana tak mau mendengarkan. Para menteriku menganggap bahwa cat Prancis dan gaya rambutku yang tertata apik itu asli. Seraya membenturkan dahi mereka ke lantai, mereka berseru,
"Sepuluh ribu tahun kesehatan! Semoga Yang Mulia panjang umur!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar