Download (EPUB)
Di tengah krisis ekonomi yang membuat ribuan rakyat kecil bertambah penderitaannya, sejumlah, pejabat Indonesia menyatakan bahwa rakyat Indonesia adalah orang yang paling terbiasa dengan penderitaan. Barangkali pernyataan ini
benar adanya tapi juga barangkali pernyataan ini adalah sebuah humor baru yang lebih mirip sebuah parodi.
Belakangan ini orang Indonesia kian produktif menciptakan humor. Para pelaku ekonomi di Indonesia juga tak mau kalah bikin humor segar dengan merespon pembelian dolar Amerika secara besar-besaran saat RAPBN dibacakan Soeharto. Demikian juga ketika Soeharto menyatakan takluk pada tuntutan IMF, orang kembali memborong dolar. Rupiah jadi anjlok. Juga saat Soeharto menyatakan kesediaannya dicalonkan jadi presiden lagi oleh Harmoko. Lantas anak presiden dan sejumlah pejabat membalasnya dengan humor pula. Antara lain dengan melancarkan Gerakan Cinta Rupiah dan perlombaan menyumbang emas secara mencengangkan. Tampaknya dalam situasi krisis, orang kian butuh humor.
Boleh jadi pers dibungkam, aktivis prodemokrasi dipenjara, organisasi kemahasiswaan dan pemuda dibonsai, wakil rakyat sejati di-recall, aspirasi rakyat disumbat, tapi siapa yang bisa melarang orang bikin humor? Barangkali humor adalah sebuah bentuk katarsis orang dari ketidakberdayaannya dalam dunia nyata. Bisa saja penataran P-4 telah dijalankan secara sistematis, gerak-gerik setiap warganegara diawasi dan para wakil rakyat diberi pembekalan, tapi apa memang “ya” lantas semua jadi serba seragam?
Kumpulan humor dalam buku ini, paling tidak membuktikan bahwa ternyata tidak semua manusia Indonesia telah “mati pikir” di negerinya sendiri. Ada sejumlah orang yang masih kreatif dan berotak sehat. Buktinya mereka bisa membuat humor. Dan lewat humor-humor bikinannya itu mereka berhasil mengundang orang lain untuk tersenyum. Meski kadang sinis dan menyakitkan.
Kumpulan humor yang diterbitkan dalam buku ini seluruhnya di-down load dari internet. Sebuah media yang hingga kini belum bisa dikontrol apalagi dibredel oleh Polri, ABRI, Bakin, BIA atau demit sekali pun. Apalagi oleh Deppen yang hingga kini masih sibuk melakukan pembinaan terhadap para pemimpin redaksi media cetak lewat telepon, faksimili dan sejumlah pemanggilan.
Barangkali banyak di antara humor yang ada di buku ini merupakan pengulangan dari sejumlah lelucon yang pernah diterbitkan. Barangkali para pengirim humor ini memang mengadaptasi dari humor tentang penguasa Uni Soviet (dulu) atau lainnya. Itu tak penting, sebab penderitaan itu berfaham universalian.
Dalam strata penderitaan yang sama, ideologi komunis atau sosialis seketika diganti dengan kapitalis atau Pancasila. Figur diktator Hitler bisa diganti dengan Breznhev atau Lon Nol atau Soeharto. Kedunguan tokoh De Gaulle dalam humor Perancis bisa paralel dengan kedunguan Syarwan yang pernah mengatakan, “Dari nyanyinya saja, saya bisa menebak ideologi seseorang.” Dalam sebuah lakon tragedi, memang banyak paralelisme yang bisa dari tokoh-tokohnya. Di bawah sebuah penindasan batas antara tragedi dan komedi memang begitu tipis.
Kami, sebagai penerbit sengaja, menamakan diri sebagai Penerbit Pustaka GoRo-GoRo. Nama yang sama dengan nama “rubrik” yang memuat humor-humor ini dalam internet. Dan, barangkali sebutan “GoRo-GoRo” memang kami anggap tepat untuk menggambarkan bagaimana sebelum perang yang sesungguhnya dimulai, perlu sebuah babakan dimana dalang mengeluarkan serangkaian lelucon. Pada saat ini badut dan punakawan berkesempatan menertawakan brengseknya kekuasaan.
Selamat tertawa! Tertawalah sepuasnya, sebelum penguasa melarang orang tertawa dengan cara melarang buku ini!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar