| DropBox | 4shared |
Download (EPUB)
| DropBox | 4shared |
SEIRING BUBARNYA Uni Soviet pada 1991, demokrasi melanda negeri-negeri yang dulu tergabung dalam negara adidaya komunis yang opresif itu.
Saat itu merupakan masa peralihan dan perubahan besar, namun kebanyakan
penduduk negeri-negeri tersebut tampak siap menghadapinya.
penduduk negeri-negeri tersebut tampak siap menghadapinya.
Mereka kembali merdeka dan dapat hidup sebagai bangsa-bangsa tersendiri.
Mereka bisa berbicara bahasa mereka sendiri, menjalankan agama mereka sendiri, dan yang terpenting, memerintah diri sendiri.
Lalu realitas pun hadir. Bagi sebagian besar penduduk, impian kehidupan yang lebih baik sirna dalam sekejap. Gerakan menuju reformasi pasar yang dimaksudkan membawa negara-negara tersebut ke dalam kancah ekonomi global justru menyebabkan pelarian modal besar-besaran.
Hukum dan keteraturan dirongrong oleh korupsi, kerakusan, dan penyuapan. Dengan segera, ekonomi negara-negara baru itu pun runtuh dan jaring pengaman sosial yang telah menyediakan standar kehidupan minimal pun tercabik-cabik. Keamanan dan kesetaraan tinggal kenangan.
Demokrasi menjadi kepalsuan yang pahit.
Dalam kekacauan yang terjadi sesudahnya, puluhan juta orang terlunta-lunta. Mereka dipaksa bertahan hidup semampu mereka. Siapa yang bisa mereka mintai bantuan? Jelas bukan pemerintah mereka. Kelas penguasa telah menjadi kelas berpunya. Selagi rakyat kecil kebingungan mencari makan, para politikus dan birokrat tingkat atas mengisi penuh kantongnya sendiri. Bagi mereka, mobil Mercedes dan telepon seluler menjadi bagian gaya hidup, dan yang ada di pikiran mereka hanyalah
"seberapa banyak?" dan "pilih yang mana?" Ketika para pucuk pimpinan negara mengangkangi kekuasaan dan mengeruk kekayaan, rasa tidak percaya terhadap otoritas yang tertanam akibat puluhan tahun di bawah kuasa Soviet menimbulkan kekecewaan yang tersebar luas. Rakyat harus mengurus diri sendiri.
Tak butuh waktu lama hingga hilangnya kendali dan perbatasan baru yang berlubang-lubang mendatangkan suatu kekuatan digdaya baru. Seraya Tirai Besi yang dulu tak dapat ditembus runtuh berkeping-keping, kejahatan terorganisasi menerobos masuk ... dan mengganti Tirai Besi dengan retsleting plastik murahan. Pasar gelap merajalela dan tetap bercokol hingga sekarang. Juga tidak perlu waktu lama bagi para penjahat untuk menemukan aset paling berharga republik-republik baru: kaum perempuan yang cantik namun putus asa—berpendidikan, bertatakrama, tanpa masa depan.
Akibat kacaunya struktur sosial, keluarga-keluarga pun ikut berantakan. Anak-anak ditelantarkan di jalanan. Para suami mencari pelarian dalam botol dan kecanduan alkohol pun marak. Kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat. Dan di tengah semua itu, kaum perempuanlah yang terpaksa membereskan puing-puingnya. Mereka mulai mencari pekerjaan untuk menjaga keutuhan keluarga mereka. Gadis-gadis muda yang belum berkeluarga pun mencari pekerjaan untuk memberi makan adik-adik dan orangtua mereka. Tapi, pada saat itu tingkat pengangguran perempuan melonjak hingga kira-kira 80% persen. Tak ada lowongan yang tersedia. Dengan hawa keputusasaan di mana-mana, kaum perempuan pun menjadi sasaran empuk.
Datanglah "para penyelamat", yang menjanjikan berbagai macam hal yang oleh para perempuan itu dianggap jalan keselamatan. Pekerjaan sebagai pengasuh anak di Yunani ... pengurus rumah tangga di Italia dan Prancis ... pelayan di Austria dan Spanyol ... model di Amerika Utara dan Jepang. Para perekrut selalu menggambarkan impian indah pekerjaan bergaji tinggi di negeri-negeri menawan. Bagi angkatan perempuan muda tersebut, yang tumbuh dengan memelihara fantasi romantis tentang dunia Barat, kesempatan-kesempatan itu tak hanya pekerjaan impian.
Kesempatan-kesempatan itu adalah jalan keluar. Tanpa banyak pertimbangan mereka langsung menyambarnya, dan mendapati diri mereka terjebak dalam lingkaran setan.
Para Natasha dikirim ke seluruh penjuru dunia. Mereka menjadi mode terbaru dalam industri seks. Mereka hadir di jalan-jalan daerah lampu merah di Austria, Italia, Belgia, dan Belanda. Mereka mengisi rumah-rumah bordil di Korea Selatan, Bosnia, dan Jepang. Mereka bekerja tanpa busana di panti pijat di Kanada dan Inggris. Mereka dikurung sebagai budak seks dalam apartemen di Uni Emirat Arab, Jerman, Israel, dan Yunani. Mereka membintangi pertunjukan intip dan tari telanjang di Amerika Serikat. Bagi yang mengamati sekilas, mereka langsung berbaur dengan perempuan-perempuan yang memilih untuk menukar uang dengan seks. Dalam makeup tebal, pakaian seronok, dan sepatu hak tinggi, mereka berjalan dan berbuat hal-hal yang sama. Mereka tersenyum, mengedip, berpose, dan melenggang, tapi mereka melakukannya karena tahu apa yang akan terjadi kalau mereka tak melakukannya.
Tiap hari, para Natasha dipaksa melayani sepuluh sampai tiga puluh laki-laki dalam semalam. Uang yang mereka dapat langsung diambil oleh
"pemilik" mereka. Mereka hidup dalam kondisi menyedihkan, sering menderita penyiksaan dan ancaman. Mereka yang melawan dihukum berat.
Mereka yang menolak adakalanya dicederai atau dibunuh.
Sebagian besar orang tak tahu-menahu mengenai keberadaan perempuan-perempuan tersebut. Selain yang bekerja di jalan, biasanya mereka tak terlihat, tersembunyi di balik pintu terkunci di apartemen, bordil, panti pijat, dan bar. Bagi klien mereka, mereka hanyalah seonggok tubuh tanpa arti. Tak peduli mereka itu diperbudak; seks demi uang adalah transaksi bisnis. Bagi pemilik dan mucikari, gadis-gadis itu adalah barang dapat rusak yang harus dimanfaatkan sesering mungkin sebelum hancur.
Dan bagi geng yang menyelundupkan perempuan, mereka adalah satu bentuk bisnis paling menguntungkan yang ada sekarang. Trafiking ( trafficking) manusia sekarang merupakan bisnis penghasil uang terbesar ketiga di dunia, sesudah perdagangan gelap senjata dan obat-obatan.
Bahkan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan bahwa perdagangan manusia memberikan 12 miliar dolar per tahun[1]bagi kejahatan terorganisasi.
Di suatu kedai kopi pinggir jalan di luar kota Roma, seorang mucikari Albania membual, "Kubeli perempuan itu seharga $2.500. Modalku balik dalam beberapa hari." Menurut organisasi polisi internasional Interpol, seorang perempuan korban trafiking bisa mendatangkan $75.000 sampai $250.000 per tahun. Dipandang dari keuntungan yang dihasilkan, trafiking manusia adalah bisnis yang sempurna. Labanya luar biasa besar. Barang dagangannya banyak tersedia dan murah pula. Dan setelah seorang perempuan tak lagi diminati atau mampu bekerja, ia dibuang dan diganti wajah baru yang lebih muda.
Jumlah korban trafiking sungguh mencengangkan. Dalam laporan trafiking 2003, Departemen Luar Negeri AS menyatakan bahwa "tak ada negara yang bebas trafiking" dan memperkirakan bahwa kurang-lebih 800 ribu sampai 900 ribu orang diperdagangkan melintas batas-batas negara di seantero dunia. Angka tersebut belum mencakup trafiking dalam negeri, yang oleh beberapa pengamat diperkirakan akan memperbesarnya menjadi lebih dari dua juta orang. Sayangnya, laporan tersebut menambahkan bahwa "perdagangan manusia tak hanya berlanjut, tapi tampaknya makin meningkat di seluruh dunia" dan hampir semua korbannya adalah perempuan dan anak-anak.
Laporan itu juga menyatakan bahwa trafiking menyengsarakan perempuan dan anak, "membuat mereka mengalami pemerkosaan, siksaan, HIV/AIDS dan berbagai penyakit menular seksual lain, kekerasan, kondisi kerja yang berbahaya, kurang gizi, serta ketergantungan terhadap alkohol dan obat-obatan. Makin banyak orang dewasa dan anak yang dipaksa melakukan prostitusi, dan juga anak jalanan, yang mengidap HIV/AIDS."
Pasar perempuan internasional bukanlah hal baru— perempuan Asia sudah bertahun-tahun jadi barang dagangan utama, dan banyak sekali laki-laki yang mengunjungi Bangkok dan Manila untuk wisata seks.
Dalam tiga dasawarsa terakhir, dunia telah menyaksikan empat gelombang trafiking untuk eksploitasi seksual. Gelombang terbaru dan Eropa Timur dan Tengah telah dinamai "Gelombang Keempat" ( the Fourth Wave), dan kecepatan serta ukurannya sungguh mengejutkan. Satu dasawarsa lalu saja perempuan Eropa Timur dan eks-Soviet belum kelihatan sama sekali.
Sekarang, mereka sudah mencakup lebih daripada 25 persen perdagangan perempuan.
Gelombang pertama perempuan korban trafiking berasal dari Asia Tenggara pada 1970-an dan sebagian besar terdiri atas perempuan Thai dan Filipina. Gelombang kedua tiba pada awal 1980-an dan terdiri atas perempuan Afrika, terutama Ghana dan Nigeria. Gelombang ketiga, dan Amerika Latin, menyusul tak lama sesudahnya dan umumnya berisi perempuan dari Kolombia, Brasil, dan Republik Dominika. Jadi, dunia bukannya tidak tahu bahwa sedang banyak perempuan yang diculik, dijual, dan diperkosa. Bedanya, kegiatan itu kini lebih marak daripada sebelumnya.
Natasha merupakan penyelidikan atas gelombang keempat, untuk mengetahui mengapa gelombang tersebut terjadi dan mengapa terus berlanjut. Akan diteliti pemicunya—faktor tarik-ulurnya, penawaran dan permintaan—berikut segala kelalaian, keterlibatan, dan korupsi yang memungkinkan perdagangan perempuan merajalela.
Sepanjang tiga puluh tahun karier saya sebagai wartawan, saya telah menghadapi segala macam skandal, korupsi, kerakusan, dan kejahatan.
Saya telah menyaksikan tragedi-tragedi monumental—keputusasaan dalam kelaparan, kehancuran akibat perang. Telah saya saksikan hilangnya nyawa dan asa di Timur Tengah dan Afrika ... di Afghanistan, Etiopia, Somalia, dan Iran. Tapi belum pernah saya sebegitu tertohok oleh pengingkaran tanpa perasaan atas martabat manusia sebagaimana yang saya temukan dalam dua tahun penelitian untuk buku ini.
Bagi saya, Natasha adalah mengenai satu generasi gadis-gadis yang hilang. Nyaris tiap kota dan desa di Eropa Timur dan Tengah telah menyaksikan hilangnya sebagian kaum perempuan mereka. Yang mengherankan, mereka tidaklah lenyap karena penyakit, perang, kelaparan, atau bencana alam. Mereka justru telah menjadi pion yang bisa dikorbankan dalam bisnis uang, syahwat, dan seks yang sedang menanjak. Yang paling menyakitkan, perdagangan perempuan adalah bencana buatan manusia yang bisa dicegah. Namun, dunia terus mengabaikan penderitaan perempuan-perempuan korbannya. Sudah tiba saatnya untuk menghentikan perdagangan perempuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar